Tidak Semua Konten Sambut Ramadhan di TikTok Ramah Gender

Jumat, 31 Januari 2025 05:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
TikTok
Iklan

Jika mengharapkan kesadaran laki-laki peduli tentang kesetaraan gender masih sulit, setidaknya bisa memulai dari saring konten sebelum sharing.

***

Platform TikTok dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan lonjakan pengguna yang begitu tajam. Meminjam dari hasil rilis Kalodata.com, setidaknya di tahun 2024 pengguna aktif bulanan TikTok di seluruh dunia lebih dari 1,8 miliar orang. Dengan tingginya angka ini, cukup beralasan jika TikTok menjadi platform dengan tingkat (engagement) paling tinggi dibandingkan platform lain seperti Youtube, Twitter, Instagram, dan Facebook.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akan tetapi, dengan beragamnya konten di TikTok yang beredar saat ini, ternyata tidak semua layak untuk disebarkan. Misalnya saja konten TikTok berdurasi 22 detik yang tak sengaja saya temui.

Malam itu, di tengah rasa letih selepas delapan jam berjibaku dengan pekerjaan, saya memilih untuk scroll TikTok di atas kasur ketimbang harus berkeliaran mencari pojok cafe sekitar Pancoran, Jakarta Selatan. Mulai dari konten bola, politik, komedi, sampai petuah religi memenuhi beranda Tiktok yang tak pernah saya atur. Di antara puluhan konten yang melintas dari pandangan, secara spontan ibu jari ini berhenti pada konten yang menampilkan mas-mas berpeci tengah duduk di antara dua perempuan di dalam kereta. Konten tersebut turut dilengkapi bubuhan tulisan ‘nggak terasa Ramadhan 50 hari lagi.’

Membaca tulisan pesan ramadhan tersebut, hati kecil ini sontak tersentil seraya diingatkan bahwa Ramadhan tahun ini akan segera tiba dan tinggal menunggu hitungan hari. Maklum, Ramadhan kali ini akan terasa berbeda untuk saya, mengingat saya harus menjalani long distance marriage sementara waktu dengan istri. Sampai pada akhirnya saya memilih menyimpan konten tersebut dan menampilkan ulang di story akun instagram pribadi, dengan harapan semakin banyak orang tahu bahwa Ramadhan akan datang. Sayangnya, momen itu justru jadi pembelajaran penting tentang pentingnya saring sebelum sharing. Dari mana pembelajaran itu dimulai?

Bermula dari pesan istri di messenger, ia membombardir pertanyaan substantif mengenai konten TikTok yang telah saya unggah di story Instagram. Jika mampu diringkas, pertanyaan tersebut akan berbunyi ‘apa landasan epistemologis memilih konten konten tersebut sampai memutuskan untuk disebarkan?’, baru membaca pertanyaannya saja langsung teringat dengan beribu konsep filsafat yang pernah diajarkan dosen. Di titik itulah saya berpikir ulang dan meraba kembali alasan konten tersebut saya unduh dan diunggah kembali di story Instagram pribadi.

Berangkat dari sudut pandang gender, setidaknya ada dua hal krusial yang dapat menandaskan bahwa konten TikTok tersebut sebagai konten tidak ramah gender. Pertama, perempuan dipandang sebagai objek seksualitas. Bagaimana tidak, salah satu comment dengan like mencapai 550 di dalam konten tersebut bertuliskan (emoticon burung: lepaskan saya icibos). Tidak jarang model comment seperti ini mudah ditemui di beberapa konten yang dianggap bertendensi mengarah pada unsur seksualitas. Ditambah lagi pembuat konten justru mengafirmasi video tersebut sebagai rezeki ketika ia menerima comment dari netizen yang bertuliskan ‘jir menang banyak si aa.’

Kedua, adanya krisis ruang privasi demi konten dan monetisasi semata. Saya baru menyadari konten pesan ramadhan tersebut adalah contoh nyata bentuk eksploitasi hak-hak privat orang lain di ruang publik. Konten tersebut sekilas memang terlihat normal, akan tetapi ternyata tampak memperlihatkan adanya orang lain masuk ke dalam video yang sudah pasti tanpa ada proses persetujuan. Padahal jelas-jelas pengambilan video tersebut di ruang publik dan berada di luar negeri, yang memiliki perbedaan kultur dengan Indonesia, terutama terkait penghormatan terhadap tentang privasi.

Jika tren rampas-merampas ruang privasi terlanjur lumrah dilakukan Indonesia, haruskah sifat berdaya rusak tersebut terus dilanjutkan ke tanah air orang lain? Bahkan pemeran laki-laki yang terhimpit dua orang perempuan yang tengah duduk di sampingnya menunjukkan mimik terkesan menikmati situasi tersebut. Alih-alih menawarkan pesan ramadhan, konten tersebut akhirnya justru menggiring opini netizen untuk merendahkan perempuan dengan memandangnya tidak lebih dari sekadar tubuh yang menggoda laki-laki. Sementara itu, firman Allah SWT dalam Surah An-Nahl (16:25) telah menguraikan tentang pentingnya mengambil hikmah dan membantu orang lain dengan cara yang baik. Jika bulan Ramadhan diyakini sebagai bulan yang dipenuhi pahala, bukankah pesan ramadhan juga perlu kita sebarkan dengan mengutamakan kebaikan?

Sekali lagi, kedua masalah yang ada di konten tersebut pada ujungnya hanya menempatkan   perempuan sebagai objek pemuas konten dan nafsu seksualitas. Di tengah masifnya kampanye ruang digital yang aman dan inklusif, tampaknya upaya menghargai perempuan masih jadi omong kosong tanpa ada filter dan langkah konkret menghadirkan hiburan yang manusiawi dan ramah gender. Sepertinya masih perlu sangat banyak upaya untuk meningkatkan kesadaraan masyarakat kita tentang kesetaraan gender.  Saya akan bercerita sedikit tentang bagaimana pembelajaran baik ini saya mulai kepada diri saya sendiri?

Saya pun mengakui baru memiliki kepekaan soal kesetaraan gender dari proses belajar, berbeda dengan istri yang termudahkan dengan berbekal pengalamannya sebagai Perempuan, sehingga mampu memahami kondisi sosial sebagai perempuan. Pertemuan saya dengan nilai-nilai kesetaraan gender baru dimulai dari bangku perkuliahan. Salah satu memori yang tak pernah pudar dan berhasil memantik saya menekuni topik kesetaraan gender adalah keputusan mengambil mata kuliah feminisme. Pengalaman berharga tersebut membawa saya menggali kasus perampasan hak pekerja perempuan saat mengalami menstruasi dan menjadi topik pertama yang saya angkat pada mata kuliah tersebut.

Barangkali titik tumpuan yang berbeda itulah yang membuat saya dan banyak laki-laki lainnya masih gagap memahami tentang pentingnya menghadirkan ruang setara bagi setiap gender, kecuali kita bersedia untuk terus belajar. Atau jangan-jangan memang begitu berat menurunkan ego laki-laki dan meruntuhkan benteng patriarki yang telah lama menguntungkannya?. Jika memang mengharapkan kesadaran laki-laki yang peduli tentang kesetaraan gender masih sulit, setidaknya kita bisa memulai dari saring konten sebelum sharing. Seperti yang dititahkan oleh Allah SWT di dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 tentang kehati-hatian dalam menyebarkan berita dengan melakukan penyelidikan terlebih dahulu kebenarannya.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rofi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler